Oleh : Herikasni Tahar
Kursi, adalah nama bagi sebuah benda perabot (meubel furniture/ meubelair) yang
berfungsi sebagai tempat duduk di rumah, di kantor, di taman ataupun di
tempat- tempat lainnya. Kursi bisa berfungsi hanya sekedar alat pelepas
penat, mengaso, hingga sebagai tempat berleha-leha sebagai kursi malas
atau kursi santai yang empuk. Ada pula kursi yang justru menyengsarakan
sebagaimana kursi reot yang penuh dengan kutu busuk. Semua itu tentu
saja baru pengertian kursi secara harfiah/ letterly. Kursi presiden berarti kursi tempat duduk presiden. Kalau diduduki seorang anak, ya biasalah kursi presiden diduduki seorang anak sewaktu kursi itu dibersihkan oleh bagian urusan rumah tangga kepresidenan, dan kursi itu bisa saja ada dua, tiga, atau lima, bahkan ada banyak cadangannya.
Pada konteks lain Kursi, justru memiliki arti konotatif,
sebagai pemisalan, kiasan atau pengibaratan. Secara implisit kursi
mengandung arti pula sebagai jabatan, kekuasaan, atau kedudukan. Kursi presiden berarti jabatan presiden. Apa yang terjadi kalau tiba-tiba kursi ini diduduki oleh seseorang secara tidak syah. Ini namanya kudeta, maka sebuah bangsa bisa perang saudara. Negarapun bisa chaos karenanya.
Kursi konotatif
inilah yang sekarang menjadi pemandangan fenomenal dan menjadi konsumsi
sehari-hari bagi publik tanah air maupun manca negara. Bangsa Indonesia
telah dengan bangga mempersembahkan tontonan teatrikal ”kursi, kekursian dan segalanya tentang kursi”. Media seakan berebutan untuk kejar tayang. Sama halnya sejumlah pejabat wakil rakyat berebutan dengan rakyat untuk urusan hujat menghujat memperlihatkan sifat laknat menggunakan berbagai fixture demokrasi
sebagai tameng simbol perjuangan kehuru-haraan. Bangsa ini seakan
berlomba tanpa segan-segan mempermalukan diri kepada dunia, inilah
sebuah contoh demokrasi kerdil tak berakal sebuah bangsa besar.
Demokrasi yang ujung-ujungnya tak lebih hanya untuk sebuah kursi dan
kekursian. Ini pulalah yang telah menjadi stereotype dalam
masyarakat dewasa ini. Dari ”orang kecil” hingga ”orang besar” telah
menjadi gila kursi. Tanpa bisa dipungkiri, banyak orang atau pegawai
punya orientasi ”punya kursi” dan ”berkuasa” agar bisa ”merampok”
instansi sumur hidupnya sendiri. Naiflah kalau masih berfikir demi
masyarakat, kalau perlu temanpun bisa disikat. Bodoh kalau tikus tidak
bisa memakan padi, padahal ia sedang tidur di lumbung, begitu kira-kira.
Maka orientasi ini tanpa malu-malu dan tanpa diikuti introspeksi tentang kompetensi diri, sejauhmana kinerja, dan produktifitas sebagai kontribusi
bagi bangsa yang telah memberinya makan enak dan kehidupan. Si A ingin
jadi kasi, karo, si B ingin jadi kaur, si C ingin jadi Pimpro, PPTK,
pengawas, jadi anggota legislatif, sebagai pansus dan sebagainya agar
bisa membuat UUD (ujung-ujungnya duit). Memang peluang ada, toh regulasi yang mengatur tentang itu tidak jelas. Setidaknya saat ini kepentingan dapat disesuaikan dengan aturan, atau sebaliknya. Fit and proper test, ah klise. Belum ada pejabat yang membuat transparant assessment dalam mempromosikan atau recruitment pegawai. Misalnya soal A, jawabannya B, maka skor sekian. Antecedent atau introductionnya saja baik, padalah teknologi computer sudah sangat maju. Selalu saja ada kepentingan terkait.
Alhasil
bagaimana? Banyak aparat berkursi itu yang nepotisme. Masukkan anak
jadi pegawai, loloskan kemenakan PTT, kolega sebagai honorer. Kata orang
Minang “Bak kato awak se duya” (semau kita saja dunia), satu kantor sudah seperti di rumah. Ada
kesempatan promosi sanak famili atau kolega didahulukan, akibatnya
kerja tidak berkualitas, karena orang kecil didudukkan pada kursi yang
besar, ia akan lebih menampilkan sikap sombong dan rakus daripada
menunjukkan kompetensi kerjanya. Sedangkan orang (lain) yang memang
besar (pendidikan dan kompetensinya) tapi tidak mempunyai link connection, didudukkan
pada kursi yang kecil saja. Sebagai manusia yang tidak terlepas dari
faktor psikologis, hal ini tentu akan memperburuk kinerjanya. Memang ada
slogan baru yang popular saat ini “kalau mau punya jabatan, ya kejarlah sendiri” jadi bukan lagi prinsip amanah. Bila mau berjujur-jujur dan leaders of nation (nation figures) mau benar-benar berbuat, sesungguhnya kunci kemajuan bangsa ini agar benar-benar besar, simple saja yaitu mewujudkan the right man on the right place, dengan mengupayakan perangkat assessment, controlling & evaluation semaksimal mungkin. Bila dilihat pada teori manajemen POAC (George R Terry),
sisi paling lemah bangsa ini ya itulah, control atau pengawasan.
Banyak kebijakan, misalnya menyangkut rekrutmen, promosi, sertifikasi
profesi atau penggunaan keuangan, katanya akan diturunkan inspektorat
untuk melakukan evaluasi, verifikasi atau audit. Tapi sekian lama
kemudian tidak pernah, atau dilakukan sekedarnya tanpa metoda yang jitu
seperti mempertegas persaratan kompetensi, melakukan cross ceck,
dan sebagainya. Umumnya seperti itu, maka orang menjadi kebal dan
bebal, trus kolusi dan nepotisme jalan terus, yang diberantas kan cuma korupsi.