Friday, 23 March 2012

ORANG KECIL DUDUK DI KURSI BESAR ORANG BESAR DUDUK DI KURSI KECIL

Oleh    :  Herikasni Tahar 

Kursi, adalah nama bagi sebuah benda perabot (meubel furniture/ meubelair) yang berfungsi sebagai tempat duduk di rumah, di kantor, di taman ataupun di tempat- tempat lainnya. Kursi bisa berfungsi hanya sekedar alat pelepas penat, mengaso, hingga sebagai tempat berleha-leha sebagai kursi malas atau kursi santai yang empuk. Ada pula kursi yang justru menyengsarakan sebagaimana kursi reot yang penuh dengan kutu busuk. Semua itu tentu saja baru pengertian kursi secara harfiah/ letterly. Kursi presiden berarti kursi tempat duduk presiden. Kalau diduduki seorang anak, ya biasalah kursi presiden diduduki seorang anak sewaktu kursi itu dibersihkan oleh bagian urusan rumah tangga kepresidenan, dan kursi itu bisa saja ada dua, tiga, atau lima, bahkan ada banyak cadangannya.

Pada konteks lain Kursi, justru memiliki arti konotatif, sebagai pemisalan, kiasan atau pengibaratan. Secara implisit kursi mengandung arti pula sebagai jabatan, kekuasaan, atau kedudukan. Kursi presiden berarti jabatan presiden. Apa yang terjadi kalau tiba-tiba kursi ini diduduki oleh seseorang secara tidak syah. Ini namanya kudeta, maka sebuah bangsa bisa perang saudara. Negarapun bisa chaos karenanya.

Kursi konotatif inilah yang sekarang menjadi pemandangan fenomenal dan menjadi konsumsi sehari-hari bagi publik tanah air maupun manca negara. Bangsa Indonesia telah dengan bangga mempersembahkan tontonan teatrikal ”kursi, kekursian dan segalanya tentang kursi”. Media seakan berebutan untuk kejar tayang. Sama halnya sejumlah pejabat wakil rakyat berebutan dengan rakyat untuk urusan hujat menghujat memperlihatkan sifat laknat menggunakan berbagai fixture demokrasi sebagai tameng simbol perjuangan kehuru-haraan.  Bangsa ini seakan berlomba tanpa segan-segan mempermalukan diri kepada dunia, inilah sebuah contoh demokrasi kerdil tak berakal sebuah bangsa besar. Demokrasi yang ujung-ujungnya tak lebih hanya untuk sebuah kursi dan kekursian. Ini pulalah yang telah menjadi stereotype dalam masyarakat dewasa ini. Dari ”orang kecil” hingga ”orang besar” telah menjadi gila kursi. Tanpa bisa dipungkiri, banyak orang atau pegawai punya orientasi ”punya kursi” dan ”berkuasa”  agar bisa ”merampok” instansi sumur hidupnya sendiri. Naiflah kalau masih berfikir demi masyarakat, kalau perlu temanpun bisa disikat. Bodoh kalau tikus tidak bisa memakan padi, padahal ia sedang tidur di lumbung, begitu kira-kira. Maka orientasi ini tanpa malu-malu dan tanpa diikuti introspeksi tentang kompetensi diri, sejauhmana kinerja, dan produktifitas sebagai kontribusi bagi bangsa yang telah memberinya  makan enak dan kehidupan. Si A ingin jadi kasi,  karo, si B ingin jadi kaur, si C ingin jadi Pimpro, PPTK, pengawas, jadi anggota legislatif, sebagai pansus dan sebagainya agar bisa membuat UUD (ujung-ujungnya duit). Memang peluang ada, toh regulasi yang mengatur tentang itu tidak jelas. Setidaknya saat ini kepentingan dapat disesuaikan dengan aturan, atau sebaliknya. Fit and proper test, ah klise. Belum ada pejabat yang membuat transparant assessment  dalam mempromosikan atau recruitment pegawai. Misalnya soal A, jawabannya B, maka skor sekian. Antecedent atau introductionnya saja baik, padalah teknologi computer sudah sangat maju. Selalu saja ada kepentingan terkait.

Alhasil bagaimana? Banyak aparat berkursi itu yang nepotisme. Masukkan anak jadi pegawai, loloskan kemenakan PTT, kolega sebagai honorer. Kata orang Minang “Bak  kato awak se duya” (semau kita saja dunia), satu kantor sudah seperti di rumah. Ada kesempatan promosi sanak famili atau kolega didahulukan, akibatnya kerja tidak berkualitas, karena orang kecil didudukkan pada kursi yang besar, ia akan lebih menampilkan sikap sombong dan rakus daripada menunjukkan kompetensi kerjanya. Sedangkan orang (lain) yang memang besar (pendidikan dan kompetensinya) tapi tidak mempunyai link connection,  didudukkan pada kursi yang kecil saja. Sebagai manusia  yang tidak terlepas dari faktor psikologis, hal ini tentu akan memperburuk kinerjanya. Memang ada slogan baru yang popular saat ini “kalau mau punya jabatan, ya kejarlah sendiri” jadi bukan lagi prinsip amanah. Bila mau berjujur-jujur dan leaders of nation (nation figures)  mau benar-benar berbuat, sesungguhnya kunci kemajuan bangsa ini agar benar-benar besar, simple saja yaitu mewujudkan the right man on the right place, dengan mengupayakan perangkat assessment, controlling & evaluation  semaksimal mungkin. Bila dilihat pada teori manajemen POAC (George R Terry), sisi paling lemah bangsa ini ya itulah,  control atau pengawasan.  Banyak kebijakan, misalnya menyangkut rekrutmen, promosi, sertifikasi profesi atau penggunaan keuangan, katanya akan diturunkan inspektorat untuk melakukan evaluasi, verifikasi atau audit. Tapi sekian lama kemudian tidak pernah, atau dilakukan sekedarnya tanpa metoda yang jitu seperti mempertegas persaratan kompetensi, melakukan  cross ceck, dan sebagainya.  Umumnya seperti itu, maka orang  menjadi kebal dan bebal, trus kolusi dan nepotisme jalan terus, yang diberantas kan cuma korupsi.


Daftar Isi:

0 Comments
Tweets
Komentar

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons