Pengertian Profesionalisme,
Profesional dan Profesi Profesionalisme
adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja
tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan
rasa keterpanggilan — serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan
tersebut — untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan
kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan ditengah gelapnya kehidupan
(Wignjosoebroto, 1999)
Dengan demikian seorang profesional
jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses
pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada unsur
semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam melaksanakan suatu kegiatan
kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk mem bedakannya dengan kerja biasa
(occupation) yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan
materiil-duniawi Dua pendekatan untuk mejelaskan pengertian profesi:
1. Pendekatan berdasarkan Definisi Profesi merupakan
kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan
ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari
manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan
keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan
dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah
dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan
diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut
.
2. Pendekatan Berdasarkan Ciri Definisi di atas secara
tersirat mensyaratkan pengetahuan formal menunjukkan adanya hubungan antara
profesi dengan dunia pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan
lembaga yang mengembangkan dan meneruskan pengetahuan profesional. Karena
pandangan lain menganggap bahwa hingga sekarang tidak ada definisi yang yang
memuaskan tentang profesi yang diperoleh dari buku maka digunakan pendekatan
lain dengan menggunakan ciri profesi.
Secara umum ada 3 ciri yang disetujui oleh banyak penulis
sebagai ciri sebuah profesi. Adapun ciri itu ialah:
- Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum
memasuki sebuah profesi. Pelatihan ini dimulai sesudah seseorang memperoleh
gelar sarjana. Sebagai contoh mereka yang telah lulus sarjana baru mengikuti
pendidikan profesi seperti dokter, dokter gigi, psikologi, apoteker, farmasi,
arsitektut untuk Indonesia. Di berbagai negara, pengacara diwajibkan menempuh
ujian profesi sebelum memasuki profesi.
- Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang
signifikan. Pelatihan tukang batu, tukang cukur, pengrajin meliputi ketrampilan
fisik. Pelatihan akuntan, engineer, dokter meliputi komponen intelektual dan
ketrampilan. Walaupun pada pelatihan dokter atau dokter gigi mencakup
ketrampilan fisik tetap saja komponen intelektual yang dominan. Komponen intelektual
merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan
bantuan menyangkut bidang keahliannya yang rata-rata tidak diketahui atau
dipahami orang awam. Jadi memberikan konsultasi bukannya memberikan barang
merupakan ciri profesi.
- Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting
kepada masyarakat. Dengan kata lain profesi berorientasi memberikan jasa untuk
kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Dokter, pengacara, guru,
pustakawan, engineer, arsitek memberikan jasa yang penting agar masyarakat
dapat berfungsi; hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh seorang pakar
permainan caturmisalnya. Bertambahnya jumlah profesi dan profesional pada abad
20 terjadi karena ciri tersebut. Untuk dapat berfungsi maka masyarakat modern
yang secara teknologis kompleks memerlukan aplikasi yang lebih besar akan
pengetahuan khusus daripada masyarakat sederhana yang hidup pada abad-abad
lampau. Produksi dan distribusi enersi memerlukan aktivitas oleh banyak
engineers. Berjalannya pasar uang dan modal memerlukan tenaga akuntan, analis
sekuritas, pengacara, konsultan bisnis dan keuangan. Singkatnya profesi
memberikan jasa penting yang memerlukan pelatihan intelektual yang ekstensif.
Di samping ketiga syarat itu ciri
profesi berikutnya. Ketiga ciri tambahan tersebut tidak berlaku bagi semua
profesi. Adapun ketiga ciri tambahan tersebut ialah:
- Adanya proses lisensi atau sertifikat. Ciri ini lazim pada
banyak profesi namun tidak selalu perlu untuk status profesional. Dokter
diwajibkan memiliki sertifikat praktek sebelum diizinkan berpraktek. Namun
pemberian lisensi atau sertifikat tidak selalu menjadikan sebuah pekerjaan
menjadi profesi. Untuk mengemudi motor atau mobil semuanya harus memiliki
lisensi, dikenal dengan nama surat izin mengemudi. Namun memiliki SIM tidak
berarti menjadikan pemiliknya seorang pengemudi profesional. Banyak profesi
tidak mengharuskan adanya lisensi resmi. Dosen di perguruan tinggi tidak
diwajibkan memiliki lisensi atau akta namun mereka diwajibkan memiliki syarat pendidikan,
misalnya sedikit-dikitnya bergelar magister atau yang lebih
tinggi. Banyak akuntan bukanlah Certified Public Accountant dan ilmuwan
komputer tidak memiliki lisensi atau sertifikat
- Adanya organisasi. Hampir semua profesi memiliki
organisasi yang mengklaim mewakili anggotanya. Ada kalanya organisasi tidak
selalu terbuka bagi anggota sebuah profesi dan seringkali ada organisasi
tandingan. Organisasi profesi bertujuan memajukan profesi serta meningkatkan
kesejahteraan anggotanya. Peningkatan kesejahteraan anggotanya akan berarti
organisasi profesi terlibat dalam mengamankan kepentingan ekonomis anggotanya.
Sungguhpun demikian organisasi profesi semacam itu biasanya berbeda dengan
serikat kerja yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya pada kepentingan ekonomi
anggotanya. Maka hadirin tidak akan menjumpai organisasi pekerja tekstil atau
bengkel yang berdemo menuntut disain mobil yang lebih aman atau konstruksi
pabrik yang terdisain dengan baik
- Otonomi dalam pekerjaannya. Profesi memiliki otonomi atas
penyediaan jasanya. Di berbagai profesi, seseorang harus memiliki sertifikat
yang sah sebelum mulai bekerja. Mencoba bekerja tanpa profesional atau menjadi
profesional bagi diri sendiri dapat menyebabkan ketidakberhasilan. Bila pembaca
mencoba menjadi dokter untuk diri sendiri maka hal tersebut tidak sepenuhnya
akan berhasil karena tidak dapat menggunakan dan mengakses obat-obatan dan
teknologi yang paling berguna. Banyak obat hanya dapat diperoleh melalui resep
dokter. sepuluh ciri lain suatu profesi (Nana 1997) :
- Memiliki fungsi dan signifikasi sosial
- Memiliki keahlian/keterampilan tertentu
- Keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori
dan metode ilmiah
- Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas
- Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup
lama
- Aplikasi dan sosialisasi nilai- nilai profesional
- Memiliki kode etik
- Kebebasan untuk memberikan judgement dalam memecahkan
masalah dalam lingkup kerjanya
- Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi
- Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan
profesinya.
Tiga Watak Profesional Lebih lanjut
Wignjosoebroto [1999] menjabarkan profesionalisme dalam tiga watak kerja yang
merupakan persyaratan dari setiap kegiatan pemberian “jasa profesi” (dan bukan
okupasi) ialah
- bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk
merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan
oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah
materiil;
- bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh
kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan
dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat;
- bahwa kerja seorang profesional — diukur dengan kualitas
teknis dan kualitas moral — harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme
kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam
sebuah organisasi profesi.
Ketiga watak kerja tersebut mencoba
menempatkan kaum profesional (kelompok sosial berkeahlian) untuk tetap
mempertahankan idealisme yang menyatakan bahwa keahlian profesi yang dikuasai
bukanlah komoditas yang hendak diperjual-belikan sekedar untuk memperoleh
nafkah, melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan demi kesejahteraan umat
manusia.
Kalau didalam peng-amal-an profesi
yang diberikan ternyata ada semacam imbalan (honorarium) yang diterimakan, maka
hal itu semata hanya sekedar “tanda kehormatan” (honour) demi tegaknya
kehormatan profesi, yang jelas akan berbeda nilainya dengan pemberian upah yang
hanya pantas diterimakan bagi para pekerja upahan saja.
Siapakah atau kelompok sosial
berkeahlian yang manakah yang bisa diklasifikasikan sebagai kaum profesional
yang seharusnya memiliki kesadaran akan nilai-nilai kehormatan profesi dan
statusnya yang sangat elitis itu? Apakah dalam hal ini profesi keinsinyuran
bisa juga diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok ini? Jawaban terhadap
kedua pertanyaan ini bisa mudah-sederhana, tetapi juga bisa sulit untuk
dijawab. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan berbagai macam persoalan, praktek
nyata, maupun penyimpangan yang banyak kita jumpai didalam aplikasi pengamalan
profesi
di lapangan yang jauh dari idealisme pengabdian dan tegak
nya kehormatan diri (profesi). Pada awal pertumbuhan “paham” profesionalisme,
para dokter dan guru — khususnya mereka yang banyak bergelut dalam ruang
lingkup kegiatan yang lazim dikerjakan oleh kaum padri maupun juru dakhwah
agama — dengan jelas serta tanpa ragu memproklamirkan diri masuk kedalam
golongan kaum profesional. Kaum profesional (dokter, guru dan kemudian diikuti
dengan banyak profesi lainnya) terus berupaya menjejaskan nilai-nilai kebajikan
yang mereka junjung tinggi dan direalisasikan melalui keahlian serta kepakaran
yang dikembangkan dengan berdasarkan wawasan keunggulan.
Sementara itu pula, kaum profesional
secara sadar mencoba menghimpun dirinya dalam sebuah organisasi profesi (yang
cenderung dirancang secara eksklusif) yang memiliki visi dan misi untuk menjaga
tegaknya kehormatan profesi, mengontrol praktek-praktek pengamalan dan
pengembangan kualitas keahlian/ kepakaran, serta menjaga dipatuhinya kode etik
profesi yang telah disepakati bersama.
Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang
berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan
manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan
manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma.
Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral,
noprma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan
perundang-undangan,norma agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal
dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari
sedangkan norma moral berasal dari etika.
Etika dan etiket, Etika
berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa
Inggeris dikenal sebagai ethics dan etiquette.
Antara etika dengan etiket terdapat
persamaan yaitu:
(a) etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah
tersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak
mengenal etika maupun etiket.
(b) Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif
artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa
yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilkukan. Justru karena sifatnya
normatif maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.
Adapun perbedaan antara etika dengan
etiket ialah:
(a) etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia.
Etiket menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta
ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu. Misalnya dalam makan, etiketnya
ialah orang tua didahulukan mengambil nasi, kalau sudah selesai tidak boleh
mencuci tangan terlebih dahulu. Di Indonesia menyerahkan sesuatu harus dengan
tangan kanan. Bila dilanggar dianggap melanggar etiket. Etika tidak terbatas
pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu
sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau
tidak boleh dilakukan.
(b) Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Bila tidak ada
orang lain atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya
etiket tentang cara makan. Makan sambil menaruh kaki di atas meja dianggap
melanggar etiket dila dilakukan bersama-sama orang lain. Bila dilakukan sendiri
maka hal tersebut tidak melanggar etiket. Etika selalu berlaku walaupun tidak
ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya
sudah lupa.
(c) Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam
sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contohnya
makan dengan tangan, bersenggak sesudah makan. Etika jauh lebih absolut.
Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan
mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
(d) Etiket hanya memadang manusia dari segi lahirian saja
sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur
katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun
munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungkin munafik
karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap
etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.
Etika dan ajaran moral
Etika perlu dibedakan dari moral.
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada
sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup.
Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang
bernilai serta kewajiban manusia.
Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika
merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat
mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan
normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki
bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).
Fungsi etika
Etika tidak langsung membuat manusia
menjadi lebih baik, itu ajaran moral, melainkan etika merupakan sarana untuk
memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang
membingungkan.
Etika ingin menampilkan ketrampilan
intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana
pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena:
(a) pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya
perbedaan suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;
(b) modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan
nilai kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral
tradisional;
(c) berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun
kehidupan, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia
harus hidup.
Etika secara umum dapat dibagi
menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau
etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi
etika individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi:
(1) Sikap terhadap sesama;
(2) Etika keluarga
(3) Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan,
arsiparis, dokumentalis, pialang informasi
(4) Etika politik
(5) Etika lingkungan hidup serta
(6) Kritik ideologi Etika adalah filsafat atau
pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangka moral adalah
ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb.
Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika
dengan moralitas.
Moralitas
Ajaran moral memuat pandangan
tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia.
Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah
tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada
perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral
merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya
merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai suami
atau isteri, sebagai pustakawan.
Moral berkaitan dengan moralitas.
Moralitas adala sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket
atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama
atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.
Etika dan moralitas
Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan
filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri
khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Rasional
berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia
untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti
sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal.
Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki
bagaimana pandangan moral yang seharusnya.
Etika dan agama
Etika tidak dapat menggantikan agama. Orang yang percaya
menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Agama merupakan hal yang
tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar
kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika
agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan
empat alasan sebagai berikut:
(1) Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional.
Ia tidak puas mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapu ia juga ingin
mengertimengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali
rasionalitas agama.
(2) Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu
mengizinkan interpretasi yang saling berbeda dan bahkan bertentangan.
(3) Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
masyarakat maka agama menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung
dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.
(4) Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika
mendasarkan diri pada argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada
wahyunya sendiri. Oleh karena
(5) itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang
mengakuinya sedangkan etika terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan
pandangan dunia.
Istilah berkaitan Kata etika sering
dirancukan dengan istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau kode
etika. Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk.
Etiket adalah ajaran sopan santun yang berlaku bila manusia bergaul atau
berkelompok dengan manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusia
hidup sendiri misalnya hidup di sebuah pulau terpencil atau di tengah hutan.
Etis artinya sesuai dengan ajaran moral, misalnya tidak etis menanyakan usia
pada seorang wanita. Ethos artinya sikap dasar seseorang dalam bidang tertentu.
Maka ada ungkapa ethos kerja artinya sikap dasar seseorang dalam pekerjaannya,
misalnya ethos kerja yang tinggi artinya dia menaruh sikap dasar yang tinggi
terhadap pekerjaannya. Kode atika atau kode etik artinya daftar kewajiban dalam
menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat
anggota dalam menjalankan tugasnya.
Etika terbagi atas 2 bidang besar
yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum masih dibagi lagi menjadi prinsip
dan moral dasar etika umum. Adapun etika khusus merupakan terapan etika, dibagi
lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial yang hanya berlaku
bagi kelompok profesi tertentu disebut kode etika atau kode etik.
Kode etik
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional
tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang
tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa
yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus
dihindari.
Tujuan kode etik
agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya.
Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Ketaatan tenaga profesional terhadap
kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa
dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing
orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia
melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah
dia sendiri.
Kode etik bukan merupakan kode yang
kaku karena akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau
sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia
(mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran
kini sudah dicantumkan.
Kode etik disusun oleh organisasi
profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya
kode etik dokter, guru, pustakawan, pengacara, Pelanggaran kde etik tidak
diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu berarti
melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat Kode
Etik Kedokteran. Bila seorang dokter dianggap melanggar kode etik tersebut,
maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia, bukannya
oleh pengadilan.
Sifat kode etik profesional
Kode etik adalah pernyataan cita-cita dan peraturan
pelaksanaan pekerjaan (yang membedakannya dari murni pribadi) yang merupakan
panduan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok. Kode etik yang hidup dapat
dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi.Sifat dan orientasi kode
etik hendaknya singkat; sederhana, jelas dan konsisten; masuk akal, dapat
diterima, praktis dan dapat dilaksanakan; komprehensif dan lengkap; dan positif
dalam formulasinya.
Orientasi kode etik hendaknya ditujukan kepada rekan,
profesi, badan, nasabah/pemakai, negara dan masyarakat. Kode etik diciptakan
untuk manfaat masyarakat dan bersifat di atas sifat ketamakan penghasilan,
kekuasaan dan status.
Etika yang berhubungan dengan nasabah hendaknya jelas
menyatakan kesetiaan pada badan yang mempekerjakan profesional. Kode etik
digawai sebagai bimbingan praktisi. Namun demikian hendaknya diungkapkan
sedemikian rupa sehingga publik dapat memahami isi kode etik tersebut. Dengan
demikian masyarakat memahami fungsi kemasyarakatan dari profesi tersebut. Juga
sifat utama profesi perlu disusun terlebih dahulu sebelum membuat kode etik.
Kode etik hendaknya cocok untuk kerja keras Sebuah kode etik menunjukkan
penerimaan profesi atas tanggung jawab dan kepercayaan masyarakat yang telah
memberikannya
Sumber : http://risdiono.blogspot.com
No comments:
Post a Comment